Tampak menyedihkan, jika seorang lelaki muda menghabiskan malam minggunya hanya dengan duduk menghadap pintu kamar, sendirian. Tak ada teman bicara, tak ada tawa. Hanya dirinya, tempat sampah plastik, dan suara AC.
Terlihat ia sedang menikmati buah mangga. Setelah kuperhatikan, sepertinya itu buah yang ia bawa dari kampungnya beberapa hari lalu. Sayangnya, mangga itu sudah tidak segar lagi. Sekitar seperempat bagiannya membusuk, dan bagian ujungnya masih terasa kecut. Ia tetap memakannya perlahan, seolah tak peduli pada rasanya.
Selain mangga, di jarinya terselip rokok kretek Samsu yang terus menyala. Di telinganya, sepasang TWS terpasang, entah lagu apa yang ia dengarkan. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Tidak seperti beberapa bulan lalu, saat pertama kali ia datang ke kota ini. Waktu itu ia tampak bersemangat, penuh rencana, dan sering tersenyum kecil saat menikmati malam seperti ini.
Sekarang berbeda. Mungkin ia sedang banyak pikiran. Atau mungkin sedang sakit? Dugaan keduaku terasa lebih masuk akal, karena dari tadi aku melihatnya beberapa kali menarik napas berat dan mengusap hidungnya dengan tisu. Sesekali terdengar suara “sentrap sentrup” khas orang flu.
Yang tak kumengerti, meski sedang flu, ia masih saja merokok. Sudah sepuluh menit aku mengamatinya, dan itu sudah batang ketiga yang ia habiskan. Aku tak tahu, apakah itu karena kecanduan, atau justru karena baginya merokok adalah satu-satunya cara untuk tetap waras.
Entahlah. Tapi hatiku lebih condong pada dugaan kedua. Aku tahu, akhir-akhir ini hidupnya agak terseok-seok. Ada sesuatu yang terjadi sekitar enam bulan lalu, sebuah pengalaman pertama yang cukup berat baginya. Tentang hal itu, mungkin akan kuceritakan lain waktu.
Namun siapa tahu, mungkin saja sekarang ia sebenarnya bahagia. Semua yang kukatakan sejauh ini hanya berdasarkan prasangkaku saja. Jujur, aku belum pernah benar-benar mengobrol dengannya secara terbuka. Aku belum tahu apa yang ia rasakan, apa yang ia pikirkan, atau ke mana arah hidupnya setelah ini. Aku hanya melihat dari jauh, menebak-nebak dari gestur dan kebiasaannya yang berubah.
Kadang aku ingin mencoba berbicara dengannya, tapi ada rasa takut. Takut kalau obrolan itu justru membuatku terbawa arus, ikut terseret dalam dunianya, atau bahkan termanipulasi oleh ceritanya sendiri. Mungkin itu alasan kenapa aku masih diam.
Namun, semoga suatu hari nanti aku bisa memberanikan diri untuk duduk di sampingnya dan berbicara langsung. Aku ingin tahu apakah prasangkaku selama ini salah. Lebih dari itu, aku ingin memastikan bahwa ia benar-benar baik-baik saja, bahwa ia bahagia menjalani hidupnya, dan bangga pada dirinya sendiri.
-
Surabaya, 08 November 2025
0 komentar:
Posting Komentar